Apa Arti dan Makna Tema HUT Pekanbaru ke-240 "Keberagaman Membangun Negeri" Berikut Ulasnnya

Logo HUT Pekanbaru ke 240 Tahun

ILINE PEKANBARU - Judul di atas adalah tema yang ditetapkan Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru dalam rangka memperingati Hari Jadi ke-240 Kota Pekanbaru, yang diperingati setiap tanggal 23 Juni. Bersempena peringatan hari jadi tersebut, Pemko Pekanbaru mengadakan serangkaian kegiatan, seperti; aneka lomba, gotong royong massal dan bakti sosial. Selain itu juga diselenggarakan Pekan Raya Pekanbaru yang dimotori oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) yang bertempat di Jalan Cut Mutia, Pekanbaru dari tanggal 20-23 Juni 2024.

Peringatan Hari Jadi Pekanbaru tahun 2024 terasa agak spesial karena masih berada dalam nuansa Hari Raya Iduladha 1445 H, yang dirayakan oleh mayoritas warga Pekanbaru. Aroma daging kurban masih tercium dari lorong-lorong rumah warga. Mulai dari sate, rendang, gulai, dan soto, yang berasal dari olahan daging kurban yang diterima masyarakat.

Warga kota Pekanbaru masih berada dalam suka cita dan kegembiraan dalam merayakan Hari Raya Iduladha, yang pada hakikatnya adalah Hari Raya terbesar bagi umat Islam, yang ditandai dengan panjangnya gema takbir yang disunnahkan dikumandangkan hingga hari tasyrik (11 hingga 13 Zulhijjah). Selain itu, Hari Raya Idul Adha juga berkaitan erat dengan pemotongan hewan kurban dan penyelenggaraan ibadah Haji sebagai salah satu dari rukun Islam, sehingga lazim juga disebut sebagai Hari Raya Haji atau Hari Raya Kurban.

Kota Multikultur

Kini, Kota Pekanbaru telah menjelma menjadi kota metropolitan dengan penduduknya yang sudah melebihi 1 juta jiwa, yang dahulunya hanyalah sebuah pekan kecil yang berpusat di Senapelan. Pekanbaru juga menjadi salah satu ikon kota di Sumatera yang paling tinggi pertumbuhan ekonominya pada tahun 2024. Sehingga menjadi daya tarik bagi para pendatang dari luar Riau untuk mencari berbagai peluang pekerjaan yang ditawarkan. Keadaan ini berimplikasi dengan tingginya pertumbuhan penduduk Pekanbaru dalam dua dekade belakangan, berbanding kota lainnya di Riau.

Pekanbaru yang asalnya dihuni oleh mayoritas etnis Melayu, kini sudah berkembang dengan beragamnya suku bangsa dan etnis yang mendiaminya. Menurut data terakhir dari Kesbangpol Pekanbaru, terdapat 37 etnis yang kini tinggal di Pekanbaru, dimana didominasi oleh etnis Minangkabau, Melayu, Jawa, Batak, Mandailing, Sunda dan China. Menariknya, etnis Melayu tidak lagi menjadi penduduk mayoritas yang tinggal di Pekanbaru. Sebagai gambaran, di Indonesia terdapat sekitar 656 etnis dan tidak kurang dari 300 jenis bahasa-bahasa lokal (daerah). Menurut Geertz (1967) dari berbagai etnis dengan bahasa dan identitas budaya yang berbeda yang ada di Indonesia terdapat 35 etnis besar dan masing-masing memiliki bahasa dan adat istiadat yang tidak sama.

Sebagai kota terbesar dan sekaligus ibukota Provinsi Riau, Pekanbaru juga merupakan kota yang didiami oleh hampir seluruh suku yang ada di dua kota dan 10 kabupaten di Riau. Dengan kata lain Pekanbaru adalah cermin wajah Riau, atau dapat juga dikatakan sebagai miniatur dari Riau. Tidak dapat dipungkiri bahwa Pekanbaru adalah kota yang paling multikultur di Riau.

Beragamnya etnis yang tinggal di Pekanbaru, adalah konsekuensi dari perkembangan Pekanbaru menjadi kota metropolitan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan terbukanya berbagai lapangan usaha dan pekerjaan yang menyertainya, yang memicu para perantau untuk datang ke Pekanbaru. Pekanbaru adalah ibarat gula yang senantiasa dikerubungi oleh semut, yang ingin menikmati manisnya gula.

Keadaan ini juga sesuai dengan teori perencanaan kota (urban planning theory), dimana kota pada era postmodernist ditandai dengan semakin banyaknya penduduk yang akan mendiami kota dan semakin plural/majemuknya sebuah kota. Semakin besar sebuah kota juga biasanya ditandai dengan semakin pluralnya penduduk yang tinggal di dalamnya. Kota postmodernist typically celebrate complexity, diversity, difference and pluralism (Taylor, 1998).

Keragaman suku, etnis, adat, budaya, stratifikasi sosial, bahasa, agama dan kepercayaan, yang wujud di Pekanbaru, justru dapat dijadikan sebagai kekuatan dan kebersamaan untuk menciptakan keharmonisan dan persatuan di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini juga sejalan dengan semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika, yang bermakna berbeda-beda tapi tetap satu, atau dalam istilah lainnya adalah unity in diversity. Dan ini merupakan modal sosial (social capital) bernilai tinggi di dalam pembangunan Pekanbaru masa kini dan masa yang akan mendatang. Setiap individu dari berbagai latar belakang etnis dan budaya, bahu-membahu dan bergandeng tangan bekerjasama dan memberikan sumbangan positif sesuai kapasitas masing-masing di dalam masyarakat untuk terwujudnya Kota Pekanbaru yang semakin maju dan berkeadilan.

Geertz (1967) memperkirakan bahwa lebih dari 300 suku bangsa yang ada di Indonesia dengan bahasa dan identitas budaya yang berbeda-beda satu sama lain justru tidak menghalangi keinginan mereka untuk bersatu.

Dalam konteks yang lebih luas, Jakarta adalah cerminan dan sekaligus miniatur dari Indonesia. Jakarta juga merupakan kota yang paling multikultur di Indonesia, dengan hadirnya hampir seluruh etnis besar yang ada di Indonesia. London disebutkan sebagai kota yang paling multikultural di dunia, dengan berkumpulnya berbagai sukubangsa yang ada di dunia, dari timur hingga barat, dan dari utara hingga selatan.

Budaya Melayu sebagai Mainstream

Seirama dengan sebutannya sebagai Bumi Melayu Lancang Kuning, budaya Melayu telah disepakati oleh para stakeholder pembangunan sebagai tonggak utama yang mengayomi kebijakan pembangunan, seperti tertuang di dalam Visi Kota Pekanbaru 2025-2045, yaitu Pekanbaru Bertuah yang Berbudaya, Maju dan Berkelanjutan. Ini bukan berarti budaya lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di Pekanbaru, namun harus berada dalam bingkai Budaya Melayu sebagai tonggak utama, dan Budaya Nasional Indonesia sebagai payung besarnya.

Budaya Melayu harus dijadikan motor dan acuan di dalam berbagai agenda dan kebijakan pembangunan di Riau. Budaya Melayu harus dijadikan roh yang terefleksikan di dalam tampilan fisik Pekanbaru dan tingkah laku dan budi pekerti warga masyarakatnya. Sebagai gambaran sederhana, pakaian Melayu dijadikan sebagai sebagai salah satu pakaian resmi yang dipakai oleh para murid/pelajar dan aparatur sipil negara (ASN) di Pekanbaru. Pakaian Melayu juga dipakai sebagai pakaian resmi di dalam berbagai acara kenegaraan dan upacara resmi. Begitu juga bahasa Arab-Melayu, dijadikan sebagai mata pelajaran muatan lokal yang diajarkan kepada murid/pelajar di Pekanbaru. Termasuk penyajian menu makanan dan minuman serta kuliner Melayu di dalam berbagai acara resmi pemerintahan dan kenegaraan.

Dalam tampilan fisik bangunan/gedung pemerintahan dan juga sebagian gedung yang dimiliki swasta mencerminkan arsitektur Melayu sebagai identitas dan iconnya. Penggunaan aksara Arab-Melayu di dalam penulisan nama jalan dan tempat yang ada di Pekanbaru. Penggunaan nama-nama dan tempat yang bercirikan Melayu. Serta penggunaan simbol-simbol Melayu lainnya didalam berbagai acara-acara resmi dan kenegaraan.

Hal ini akan menjadikan Pekanbaru sebagai kota yang unik dan berbeda dengan kota lainnya di Indonesia. Berada di Pekanbaru memang serasa tinggal di Bumi Melayu, dalam suasana dan tradisi keMelayuannya yang tentu sudah mengalami modifikasi dan pembaruan sesuai perkembangan jaman, kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi. Dan eloknya lagi, jika Melayu bisa memelayukan orang di luar Riau.

Seperti ungkapan tokoh pendidikan dan budayawan Riau, Soeman Hs dalam pantunnya yang terkenal “Bukan Kapak Sembarang Kapak, Kapak Digunakan Untuk Membelah Kayu” Bukan Batak Sembarang Batak, Batak Yang Sudah Menjadi Melayu.

Selamat memperingati Hari Jadi Kota Pekanbaru yang ke 240, dengan harapan semoga Kota Pekanbaru Semakin Maju dan Berkeadilan. Takkan Melayu Hilang di Bumi.

(**)